Friday, September 8, 2017

Menulis Lagi

Dalam puluh keduaku
Kau datang merangkai sebuah buku
Buku yang kau karang untuk melengkapiku
Memberi pinta padaku untuk membentuk huruf-huruf menjadi padu
 “Penuh Kejutan” ya, itulah dirimu. Awal ku mengenalmu segalanya tentang definisi hidupku berubah, kebaikan-kebaikan yang kau tawarkan memberikanku kabar baik. Setiap yang kau suka akupun menyukainya entah karena angin apa hati ini ingin saja berhembus ke setiap jalur hidupmu. Menapak bersama pijakanmu.

Aku merasa bodoh, tanpa berpikir panjang ingin membuat sebuah jeda di antara kita, semuanya terjadi begitu saja. Dan tanpa kusadari, tanpa berpikir panjang. Memberi Jarak Pada Cinta. Membuat Ruang Sendiri. Atau sejenis dengan aku ingin tahu sebesar apa aku merindukanmu, sekuat apa aku tak mendengar kabarmu, seberapa jumlahnya aku membutuhkanmu.

Saat aku mencoba menguji seberapa besar sebuah kata benda yang dinamakan "Rindu" tapi sedikit condong ke arah kata sifat atau kata kerja buatku, entahlah. aku dengan tiba-tiba amat merindukanmu. Merindukan sepasang bola mata yang hanya dengan menatapku seperti mampu menghapus semua rasa sakit yang pernah ada karena benar "you are my best medicine ever". Aku dengan tiba-tiba teramat merindukanmu. Merindukan sebentuk bahu bidang yang hanya dengan kusandari seperti mampu membuatku memiliki isi dunia. Aku dengan tiba-tiba amat merindukanmu.Merindukan sebentuk pesan yang walaupun singkat seperti mampu membuat hati ini terus kuat. Aku dengan tiba-tiba amat merindukanmu. Merindukan sosok senyum sederhana tapi mempu membuatku mengingat penciptanya.

Aku merindukan nasihat-nasihat kecilmu untukku, nasihat lama yang tak pernah habis dimakan oleh zaman. Dan akupun menyerah dan teringat “jangan mintaku tak mendengar kabarmu, karena itu bagaiku menahan nafas, sedetikpun aku tak sanggup” kalimat pamungkas kita yang tak bisa terelakkan. Dan aku merindu dengan amat sangat teramat.


“Karena dengan sekadar kamu ada, aku percaya segalanya akan baik-baik saja.” –Ahimsa Azaleav.

Friday, March 17, 2017

Kebermanfaatan dan Social

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lainnya”
Saya selalu ingat hadist tersebut. Sebagai makhluk sosial hadist ini sangat pas mengingatkan banyak orang yang sekarang hidup di era individualis yang dimanjakan dengan perangkat canggih yang ada. Terkadang ini menjadi cerminan bagi saya sendiri, dari sekian banyak kegiatan yang ingin saya capai dalam kehidupan ada nggak sih dampak dan manfaatnya untuk orang lain? Jangan-jangan hanya memikirkan diri sendiri saja. Memikirkan pencapaian diri tanpa melibatkan orang lain dalam pencapaian kita.
Untuk masalah sosial saya pernah merasa kurang dalam hal berinteraksi dengan orang yang baru saya kenal. Padahal siapa tahu dengan berinteraksi dengan orang asing (yang tentu saja dalam pandangan kita ‘layak’ dan selama kita tetap husnudzan dengan orang itu) untuk diajak bersosialisasi mengapa tidak? Bisa saja dari sana muncul berbagai ide baru, suasana baru, bahkan pengalaman baru yang dapat mengupgrade sisi pencapaian diri kita. Dari interaksi itu bisa saja kita mendatangkan kebermanfaatan untuk orang yang tersebut atau orang lainnya. Why not? Kembali ke hadist, berhubungan dengan berbagi, ketika berbagi pasti ada rasa senang dan lega dapat bermanfaat bagi orang lain.

Nah, dalam setiap aktivitas jangan lupa untuk senantiasa mencari apa kebermanfaatannya ya! Sebagai manusia, tanggung jawab kita bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk orang banyak. Apalagi sebagai umat islam, memberikan manfaat bagi ummat, menabur kebaikan, adalah menjadi bagian dari kewajiban.

Kamu dan aku (yang akan menjadi kita atau akan tetap sama).

Aku tak mengerti bagaimana bisa aku akan terus mencari tanpa pernah tahu bagaimana akan menemukan. Kamu dan aku terus berharap tanpa punya apa-apa selain doa. Kadang kamu merasa menemukan apa yang kamu cari. Kadang aku merasa ditemukan apa yang kunanti. Tapi tak pernah ada kata saling. Lalu, entah sinyal apa yang memancar, kamu dan aku justru dipertemukan dalam kegiatan pencarian ini. Kamu dan aku entah dengan keyakinan dari mana berusaha menjadi manusia yang Allah sukai dari yang Allah cintai (karena cintai lebih tinggi tingkatannya daripada sukai) karena kamu dan aku sebenarnya bukan apa-apa melainkan hamba-Nya (tapi juga belumlah pantas mengaku hamba, karena seorang hamba pada hakikatnya adalah seseorang yang patuh akan apapun perintah dan larangan Rabb-nya) sedangkan kamu dan aku mungkin dua orang insan manusia yang sempat diperbudak oleh perasaan masing-masing, ego masing-masing terus mengiba mengharap Rabbnya selalu menuntunnya, dalam kegelapan dunia kamu dan aku berusaha melangkah, mencari secerca lentera untuk menerangi langkahmu dan langkahku bersama (meskipun tak benar-benar bersama dalam satu ruang dan waktu). Ketika lambaian tangan lain mengajak, aku tak mau beranjak. Aku tetap menunggu kamu, aku akan melihat perjuanganmu menggapai tempat persinggahanku. Karena dari binar matamu aku tahu...

Katamu, “berhenti di sana. Jangan lagi kamu berjalan meski pelan-pelan. Aku takut ketika kamu jatuh, tanganku belum siap di sana untuk menangkapmu. Jadi tunggu dulu”.


Karena aku tahu, kamu adalah seseorang yang akan menemukanku, kamu adalah sosok yang Allah tetapkan untukku, kamu adalah tangan Allah yang kelak siap menuntunku, melangkah disampingku, bukan di depanku atau pun di belakangku, kamu penggenap imanku. Kamu dan aku yang akan menjadi kita J.

Monday, September 5, 2016

Kamu!

Dari aku yang mengagumi kebaikan hatimu
Maaf jika aku harus berkata seperti ini
Kamu!
Jangan terlalu baik padaku
Jika kamu bertanya kenapa?
Itu karena jika kamu terlalu baik padaku
Dan kemudian suatu saat berhenti
Itu akan membuat segalanya terasa sulit bagiku
Karenanya berbuat sewajarnyalah untuk saat ini
Percaya akan ketetapanNya
Jika kita berjodoh
Mari kita saling membahagiakan
Jika tidak
Mari kita saling mengikhlaskan

"Mencintaimu memang membutuhkan waktu. Tapi aku tidak membutuhkan waktu untuk memulai mencintaimu. Namun cepat bukan berarti tepat. Sewajarnyalahh~"

melodydalampuisi

Maukah?

Maukah kamu menunggu?
Ketika aku tidak bisa menjadi apa yang seperti orang lain lakukan. 
Aku mengenalmu sebagai seseorang yang begitu baik hati. 
Aku pun tahu apa maksud dari kebaikanmu itu. 
Hanya saja,
Aku rasa ini belum saatnya untuk kita. 
Kita masih sangat jauh. 
Dan aku pun yakin, saat ini kamu pun tak pernah tahu kapan akan menemui ke-dua orangtuaku.
Bukan hanya bertemu, melainkan dengan maksud meminta doa restu. 
Untuk kita, bersama dalam satu tempat yang diimpikan. 
Sekali lagi aku bertanya, maukah kamu menunggu?