Aku
merasa senang saat aku dapat mengingatnya, bukan luka yang dia buat padaku
melainkan hal-hal kecil yang pernah dia lakukan padaku. Senyumannya saat
melihatku kebingungan. Caranya mengusap kepalaku saat bertemu. Nada suaranya
saat memanggilku dengan sebutan “dek”. Dan hal-hal kecil lainnya yang sampai saat
ini masih sangat kuingat dengan jelas, bahkan mungkin aku tak akan pernah bisa
melupakannya. Semua itu jadi sensasi tersendiri bagiku.
***
Pertemuan
itu sekilas teringat kembali. Saat itu aku bahkan tak menyangka bahwa beberapa
bulan ke depan setelah aku mengenalnya, aku akan menghadapi sebuah pergulatan
batin yang amat sulit. Di saat seperti ini rasanya aku benar-benar ingin
memutar kembali waktu. Aku ingin mengabaikannya saja. Aku tidak akan
membiarkannya menyentuh hidupku. Tapi semua terlanjur terjadi. Dan inilah yang
harus kuhadapi.
November,
2009.
Dia
selalu pandai menyembunyikan perasaannya di hadapanku. Entah perasaan marah,
suka, kecewa, sayang ataupun rindu. Pernah dia mengirimkan pesan singkat padaku.
Dia menyatakan ingin meminjam buku dan akan mengambilnya satu hari kemudian.
Aku menyanggupinya. Tapi kemudian dia meralat bahwa sebenarnya dia hanya ingin
bertemu denganku. Hanya hal itulah yang terpenting. Dan ketika aku menanyakan
alasannya, dia hanya menjawab singkat, “aku Cuma ingin ketemu kamu sudah lama
aku nggak ketemu kamu. Aku kangen, dek”. Entah mengapa barisan kalimat
terakhirnya membuat hatiku bergetar.
Keesokan
harinya dia benar-benar dating dan mencariku ke kelas. Awalnya, aku merasa tak
yakin bahwa dia akan dating. Tapi ternyata dia benar-benar dating untuk
menemuiku. Tiba-tiba saja perasaanku menjadi bahagia. Telapak tanganku jadi
dingin dan sedikit berkeringat. Tapi aku tetap berusaha tenang.
Di
depan kelas yang sudah mulai sepi dia menghampiriku. Tanpa sadar aku
memperhatikan rambutnya. Lucu. Sedikit ikal sehingga mengingatkanku akan gambar
pahlawan pada uang kertas seribu rupiah, Pattimura. Hehe..
Dan aku juga memperhatikan caranya berjalan lain
daripada yang lain, kurasa taka da yang seperti dia. Hanya dia.
Dia
berdiri di depanku dan dengan sedikit kaku mulai membuka suara. Kukira dia akan
menyapaku dengan basa-basi terlebih dahulu. Ternyata tidak. Dia mamang berbeda
dari yang kukira.
“Bukunya ada?” tanyanya.
“Ada,” jawabku singkat.
Kemudian aku menyerahkan sebuah buku padanya.
Diapun menerimanya kemudian membolak-balik halaman demi halaman buku. Entah apa
yang dicarinya. Kupikir dia hanya menutupi rasa canggungnya di hadapanku. Aku
memutuskan untuk duduk pada sebuah bangku panjang yang tertata rapi di depan
kelas. Jantungku terasa berdetak lebih cepat ketika dia berada dekat denganku.
Aku tak tahu sejak kapan dan mengapa aku merasakan peasaan-perasaan seperti ini
yang jelas aku bahagia tapi tak tahu harus berbuat apa. Aku masih berusaha
tenang sampai dia mengambil tempat duduk tepat di sebelahku. Awalnya kami
merasa sedikit kikuk. Tapi aku merasa nyaman berada di dekatnya dan berbicara
dengannya kurasa diapun begitu. Kami duduk berdampingan untuk pertama kalinya.
Dan aku menyadari aku sangat bahagia.
***bersambung***