Kala
Raja siang hendak beristirahat dari penatnya kehidupan dunia. Angkasa
berselimut awan pekat yang tebal. Hujan kembali datang menyapa, bersama angin
yang menerbangkan semua kenanganku. Rindu berjalan-jalan disela-sela hati kecil
yang selalu menyesakkan dada. Hujan datang menyanyikan lagu alam yang indah,
membuncah bumi yang haus akan rahmat-Nya. Akupun termenung sejenak menatap
semburat jingga senja yang singkat terbalut awan muram yang sedang meneteskan
airmatanya. Dari hujan semua memori indahku tercipta, dari hujan pula rasa
syukurku terpanjat kepada-Nya. Entah apa tujuan sang hujan hadir menghipnotis
setiap penglihatan, hingga menerbangkan ingatan para penikmatnya. Hujan
mengingatkanku saat-saat itu, saat aku dan dia bersama. Saat pulang sekolah
bersama naik sepeda phoenix kesayangan, mengayuhnya di bawah derasnya hujan.
Melewati hari demi hari dengan suka duka. Aku rindu saat-saat itu, kebersamaan
yang tak akan pernah terulang lagi. Hingga kami terpisah oleh sekolah yang
berbeda meskipun begitu jiwa kami selalu dekat, setiap ada kesempatan kami
bertukar cerita tentang sekolah, teman-teman, dan segalanya.
Setelah
hujan beranjak pergi menjauhi bumi ini, tak ada lagi gelisah. Semburat
mejikuhibiniu menyerobot dengan tenang membentangkan sayap-sayapnya dari ujung-ujung
bumi. Membuat setiap insan mengerjap-ngerjap terdecak kagum atas ciptaan-Nya
yang satu ini. Berbagai harapan terpanjat lewat pelangi kehidupan.
Entah
ada apa di gubuk ini, selalu saja membuat diri ini termenung tiada henti. Bak
sang pungguk merindukan bulan, aku selalu menatap dewi malam yang malu-malu
menampakkan diri karena berselimut mendung, pun bintang gemintang yang
berkedip-kedip redup. Membuatku membatu kemudian terlelap.
Tak
seperti biasanya di musim seperti iniRaja siang terlihat begitu ceria keesokan
paginya, bagai buru-buru mengejar dewi malam. Angin pagi menusuk-nusuk
pori-pori kulit dan mengibarkan jilbab serta semagatku. Semangatku untuk hari
ini, seperti bunga yang bersiap merekah. Senyumku mengembang bak adonan roti
baru diangkat dari Neovance. Ketika turun dari Isuzu, aku menerobos gerbang
madrasahku yang berdiri kokoh. Nampak di seberang gerbang seseorang melambaikan
tangannya kepadaku. Sosok itu tidak begitu jelas kelihatan karena ditimpa sinar
mentari menghasilkan siluetnya. Ternyata! Azula! Ya, dia adalah sahabat karibku
dari kecilseseorang yang selama ini mewarnai kanvas hidupku. Seperti dua orang
sahabat yang terpisah berabad-abad lamanya, kami berpelukan dan tak
tergambarkan bagaimana bahagia ini tercipta. Kami adalah sahabat yang identik
bagai pinang dibelah dua serupa tapi tak sama, kira-kira seperti itulah
kata-kata orang yang mengenal kami. Kami tak terpisahkan seperti amplop dan
perangko pada kop surat. Membuat orang-orang yang mengenal kami iri.

No comments:
Post a Comment