Saturday, January 10, 2015

Aku dan Dirinya


Kala Raja siang hendak beristirahat dari penatnya kehidupan dunia. Angkasa berselimut awan pekat yang tebal. Hujan kembali datang menyapa, bersama angin yang menerbangkan semua kenanganku. Rindu berjalan-jalan disela-sela hati kecil yang selalu menyesakkan dada. Hujan datang menyanyikan lagu alam yang indah, membuncah bumi yang haus akan rahmat-Nya. Akupun termenung sejenak menatap semburat jingga senja yang singkat terbalut awan muram yang sedang meneteskan airmatanya. Dari hujan semua memori indahku tercipta, dari hujan pula rasa syukurku terpanjat kepada-Nya. Entah apa tujuan sang hujan hadir menghipnotis setiap penglihatan, hingga menerbangkan ingatan para penikmatnya. Hujan mengingatkanku saat-saat itu, saat aku dan dia bersama. Saat pulang sekolah bersama naik sepeda phoenix kesayangan, mengayuhnya di bawah derasnya hujan. Melewati hari demi hari dengan suka duka. Aku rindu saat-saat itu, kebersamaan yang tak akan pernah terulang lagi. Hingga kami terpisah oleh sekolah yang berbeda meskipun begitu jiwa kami selalu dekat, setiap ada kesempatan kami bertukar cerita tentang sekolah, teman-teman, dan segalanya.
Setelah hujan beranjak pergi menjauhi bumi ini, tak ada lagi gelisah. Semburat mejikuhibiniu menyerobot dengan tenang membentangkan sayap-sayapnya dari ujung-ujung bumi. Membuat setiap insan mengerjap-ngerjap terdecak kagum atas ciptaan-Nya yang satu ini. Berbagai harapan terpanjat lewat pelangi kehidupan.
Entah ada apa di gubuk ini, selalu saja membuat diri ini termenung tiada henti. Bak sang pungguk merindukan bulan, aku selalu menatap dewi malam yang malu-malu menampakkan diri karena berselimut mendung, pun bintang gemintang yang berkedip-kedip redup. Membuatku membatu kemudian terlelap.
Tak seperti biasanya di musim seperti iniRaja siang terlihat begitu ceria keesokan paginya, bagai buru-buru mengejar dewi malam. Angin pagi menusuk-nusuk pori-pori kulit dan mengibarkan jilbab serta semagatku. Semangatku untuk hari ini, seperti bunga yang bersiap merekah. Senyumku mengembang bak adonan roti baru diangkat dari Neovance. Ketika turun dari Isuzu, aku menerobos gerbang madrasahku yang berdiri kokoh. Nampak di seberang gerbang seseorang melambaikan tangannya kepadaku. Sosok itu tidak begitu jelas kelihatan karena ditimpa sinar mentari menghasilkan siluetnya. Ternyata! Azula! Ya, dia adalah sahabat karibku dari kecilseseorang yang selama ini mewarnai kanvas hidupku. Seperti dua orang sahabat yang terpisah berabad-abad lamanya, kami berpelukan dan tak tergambarkan bagaimana bahagia ini tercipta. Kami adalah sahabat yang identik bagai pinang dibelah dua serupa tapi tak sama, kira-kira seperti itulah kata-kata orang yang mengenal kami. Kami tak terpisahkan seperti amplop dan perangko pada kop surat. Membuat orang-orang yang mengenal kami iri.

No comments:

Post a Comment