Saturday, January 31, 2015

L.I.E (Love Is Endless)



                Aku merasa senang saat aku dapat mengingatnya, bukan luka yang dia buat padaku melainkan hal-hal kecil yang pernah dia lakukan padaku. Senyumannya saat melihatku kebingungan. Caranya mengusap kepalaku saat bertemu. Nada suaranya saat memanggilku dengan sebutan “dek”. Dan hal-hal kecil lainnya yang sampai saat ini masih sangat kuingat dengan jelas, bahkan mungkin aku tak akan pernah bisa melupakannya. Semua itu jadi sensasi tersendiri bagiku.
***
                Pertemuan itu sekilas teringat kembali. Saat itu aku bahkan tak menyangka bahwa beberapa bulan ke depan setelah aku mengenalnya, aku akan menghadapi sebuah pergulatan batin yang amat sulit. Di saat seperti ini rasanya aku benar-benar ingin memutar kembali waktu. Aku ingin mengabaikannya saja. Aku tidak akan membiarkannya menyentuh hidupku. Tapi semua terlanjur terjadi. Dan inilah yang harus kuhadapi.
                November, 2009.
                Dia selalu pandai menyembunyikan perasaannya di hadapanku. Entah perasaan marah, suka, kecewa, sayang ataupun rindu. Pernah dia mengirimkan pesan singkat padaku. Dia menyatakan ingin meminjam buku dan akan mengambilnya satu hari kemudian. Aku menyanggupinya. Tapi kemudian dia meralat bahwa sebenarnya dia hanya ingin bertemu denganku. Hanya hal itulah yang terpenting. Dan ketika aku menanyakan alasannya, dia hanya menjawab singkat, “aku Cuma ingin ketemu kamu sudah lama aku nggak ketemu kamu. Aku kangen, dek”. Entah mengapa barisan kalimat terakhirnya membuat hatiku bergetar.
                Keesokan harinya dia benar-benar dating dan mencariku ke kelas. Awalnya, aku merasa tak yakin bahwa dia akan dating. Tapi ternyata dia benar-benar dating untuk menemuiku. Tiba-tiba saja perasaanku menjadi bahagia. Telapak tanganku jadi dingin dan sedikit berkeringat. Tapi aku tetap berusaha tenang.
                Di depan kelas yang sudah mulai sepi dia menghampiriku. Tanpa sadar aku memperhatikan rambutnya. Lucu. Sedikit ikal sehingga mengingatkanku akan gambar pahlawan pada uang kertas seribu rupiah, Pattimura. Hehe..
Dan aku juga memperhatikan caranya berjalan lain daripada yang lain, kurasa taka da yang seperti dia. Hanya dia.
                Dia berdiri di depanku dan dengan sedikit kaku mulai membuka suara. Kukira dia akan menyapaku dengan basa-basi terlebih dahulu. Ternyata tidak. Dia mamang berbeda dari yang kukira.
“Bukunya ada?” tanyanya.
“Ada,” jawabku singkat.
Kemudian aku menyerahkan sebuah buku padanya. Diapun menerimanya kemudian membolak-balik halaman demi halaman buku. Entah apa yang dicarinya. Kupikir dia hanya menutupi rasa canggungnya di hadapanku. Aku memutuskan untuk duduk pada sebuah bangku panjang yang tertata rapi di depan kelas. Jantungku terasa berdetak lebih cepat ketika dia berada dekat denganku. Aku tak tahu sejak kapan dan mengapa aku merasakan peasaan-perasaan seperti ini yang jelas aku bahagia tapi tak tahu harus berbuat apa. Aku masih berusaha tenang sampai dia mengambil tempat duduk tepat di sebelahku. Awalnya kami merasa sedikit kikuk. Tapi aku merasa nyaman berada di dekatnya dan berbicara dengannya kurasa diapun begitu. Kami duduk berdampingan untuk pertama kalinya. Dan aku menyadari aku sangat bahagia.
***bersambung***

No comments:

Post a Comment