Wednesday, February 4, 2015

L.I.E (Love Is Endless) 2


                Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa ini semua adalah perasaan yang kebanyakan orang menyebutnya cinta. Sebelum ini aku selalu ragu untuk mengakuinya. Bahkan saat dia mulai bertanya padaku tentang perasaanku padanya. Bahkan saat dia secara tidak langsung bertanya padaku, “maukah kamu jadi kekasihku?” Aku selalu mengelak dan menjawab, “bukan saatnya membicarakan itu, lebih baik kita bersahabat, sahabat bisa berubah jadi cinta kan, mas?”. Dan seiring berjalannya waktu aku benar-benar semakin terjatuh dan menyayanginya lebih dari sekedar kakak angkat. Aku menyayanginya dan aku merasa bahagia karenanya. Sampai seseorang  masuk ke dalam lingkaran hubungan kami. Entah mengapa aku merasa marah ketika dia menghadirkan seseorang itu ke dalam lingkaran hubungan kami. Aku merasa kasih sayangnya adalah dusta. Aku merasa selama ini tidak benar-benar ada aku di hatinya. Dia bisa membaca perasaanku. Dia meredam amarahku dengan mengatakan, “aku pilih adekku yang ku sayang”. Bahkan dia bertanya lagi tentang perasaanku padanya “kamu masih sayang aku?” aku menjawab jujur, “ya”. Dan setelah itu kurasa semua baik-baik saja. Tanpa kusadari aku begitu mempercayainya.
***
                Hari-hari terus berlalu. Aku menikmati segala macam perasaan-perasaanku tentangnya. Aku menikmati saat-saat bertemu dengannya, mendengar suaranya di telepon, merasakan dinginnya rinai hujan bersama, dan semua saat-saat terdekatku dengannya. Aku tak tahu sejak kapan aku mulai merindukannya, yang aku tahu perasaan-perasaan semacam ini selalu datang tiba-tiba tanpa peringatan. Dan ketika aku menyadarinya, aku sudah terjatuh terlalu dalam. Sesekali atau sebut saja berkali-kali kami bertengkar. Semua jadi terasa kacau. Aku bisa begitu marah padanya. Kenapa dia bisa melakukan kesalahan itu? Padahal dia tahu aku tak suka diperlakukan seperti ini. Dia selalu melakukan kesalahan yang dia tahu begitu akau benci, aku bisa begitu membencinya.
 Tapi, meskipun aku sedang begitu membencinya, aku selalu luluh kembali jika melihatnya memasang wajah muram di sekolah karena malam sebelumnya terjadi pertengkaran-pertengkaran diantara kami. Ya, aku selalu ingin melihatnya tersenyum , aku benci melihatnya memasang wajah muram. Apalagi hanya karena aku, aku tak ingin merusak hari-harinya. Tapi apakah dia pernah berpikir bahwa dia juga selalu dengan mudah merusak hari-hariku? Ahh, aku lelah.
***bersambung***

No comments:

Post a Comment